Depati Parbo: Pewaris Perang Paderi dari Kerinci


Depati Parbo: Pewaris Perang Paderi dari Kerinci
 

Uun Lionar 

Awardee Beasiswa LPDP Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung
Jika dalam sejarah Sumatra Barat kita pernah mendengar nama Tuanku Imam Bonjol yang sangat melegenda atas perjuangannya melawan Belanda, maka dalam sejarah Kerinci kita mengenal nama Depati Parbo sebagai tokoh sentral menentang kekuasaan Belanda tersebut. Bukan sesuatu yang berlebihan jika Depati Parbo juga pantas disejajarkan dengan pahlawan perang lainnya di Nusantara, walau pada akhirnya harus mengalami kekelahan dan pengasingan ke Ternate setidaknya ia telah menunjukkan sikap antikolonial dan peletak pondasi awal nasionalisme rakyat Kerinci ketika itu. Bagi orang Kerinci barangkali sudah tidak asing lagi mendengar nama Depati Parbo. Ia adalah pahlawan perang Kerinci di tahun 1901.





Nama Depati Parbo adalah sebuah gelar yang diberikan untuk seseorang yang bernama Kasib. Depati adalah gelar adat tertinggi dalam sebuah dusun (nagari di Minangkabau) bagi seorang pemimpin di Kerinci. Kasib dilahirkan di kaki Gunung Raya, tepatnya di Dusun Lolo, Kerinci, sekitar tahun 1839. Sejak kecil ia dikenal oleh rakyat Dusun Lolo sebagai pribadi yang bijaksana dan taat beribadah, selain itu juga patuh dalam belajar pengetahuan tentang adat, bahkan menurut cerita rakyat Dusun Lolo bahwa Kasib sejak usia remaja sudah memiliki berbagai kesaktian (ilmu kebatinan) dalam mengobati berbagai penyakit. Memasuki usia remaja, Kasib dinobatkan sebagai pemangku adat oleh rakyat Dusun Lolo dan kemudian diberi gelar Depati Parbo, gelar yang diwariskan secara turun temurun menurut garis keturunan ibu (matrilineal).
Menyandang sebagai pemimpin adat mengharuskan Depati Parbo berperan sebagai pelindung kalbu (keluarga besar), dan dusun (nagari), serta rakyat Dusun Lolo pada umumnya dari segala macam ancaman, tidak terkecuali ancaman dari pihak luar bahkan asing sekalipun.

Pada dekade terakhir abad ke 19, Kerinci adalah daerah yang cukup tentram dan damai. Rakyatnya hidup dari hasil alam yang berlimpah seperti beras dan sayur-sayuran segar, danau Kerinci yang terhampar luas mencukupi kebutuhan lauk pauh rakyat. Memasuki awal abad ke 20 (1900), kabar mengenai perang rakyat Aceh menghadapi Belanda yang berlarut sejak tahun 1870 tersiar hingga ke Kerinci menyebabkan daerah ini harus bersiap jikalau suatu saat ancaman dari Belanda datang ke Kerinci, mengingat saat itu Belanda telah bercokol di Indrapura (Sumatra Barat). Keberadaan Belanda di Indrapura sudah sejak tahun 1666. Setelah dataran tinggi Minangkabau (Padangsche Bovenlanden) ditakhlukkan melalui perang Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1821 hingga 1837, di tahun 1901 Belanda mencoba menguasai Kerinci yang terkenal sebagai lumbung beras di kawasan sumatra bagian tengah. Kedatangan Belanda pertama kali ke Kerinci melalui Mukomuko disambut oleh rakyat Kerinci terutama Dusun Lolo yang dipimpin langsung oleh Depati Parbo dengan peperangan yang amat sengit. Peperangan ini berhasil membuat Belanda mundur. Beberapa kali Belanda berusaha untuk masuk ke Kerinci selalu dicegat oleh Depati Parbo dan hulu balangnya di lereng Gunung Raya (perbatasan dengan Bengkulu).




Sebagai panglima perang Depati Parbo menyerukan rakyat Kerinci untuk ikut berperang melawan kedatangan Belanda. Seperti halnya Tuanku Imam Bonjol ketika perang Paderi berlangsung, ia menyerukan rakyat Minangkabau untuk melawan Belanda karena mereka adalah kaum kafir yang ingin menguasai daerah Minangkabau. Seruan yang sama disampaikan Depati Parbo ketika perang Kerinci, “bahwa pasukan Belanda adalah orang-orang kafir, orang-orang kafir adalah musuh bersama kita, oleh sebab itu mereka harus diperangi. Jangan sampai mereka menguasai daerah kita, lalu berbuat semena-mena terhadap kita”. Seruan Depati Parbo lantas disambut rakyat Kerinci dengan penuh semangat untuk segera ikut menentang kedatangan Belanda. Mensiasati langkah perang menghadapi Belanda, Depati Parbo mengumpulkan semua hulu balang Kerinci. Mereka berkumpul di sebuah masjid dekat Dusun Pulau Tengah tepian danau Kerinci untuk menyepakati strategi perang. Dalam pertemuan seruan kembali diserukan Depati Parbo “bahwa perang melawan Belanda adalah perang jihad, walau meninggal dunia sekalipun kita meninggal dalam keadaan mati sahid”. Dalam pertemuan tersebut disepakatilah tidak ada yang boleh mundur walau terkena tusukan senjata sekalipun.

Seruan jihad yang disampaikan Depati Parbo ternyata benar-benar berdampak dalam semangat ketika perang berlangsung. Walau pada akhirnya harus menghadapi kekalahan, para hulu balang Kerinci rela mengorbankan jiwa raganya untuk kemerdekaan rakyat Kerinci. Namun karena mereka menggunakan alat senjata yang tradisional, sedangkan Belanda menggunakan alat senjata modern pada akhirnya kemenangan didapatkan oleh Belanda. Banyak para hulu balang yang mati syahid, termasuk salah satu ulama Haji Ismail yang terjebak dalam masjid ketika sedang melaksanakan shalat. Dalam tulisan berjudul “De Expeditie Naar Korintji in 1902-1903; Imperialisme of Ethische Politiek”, H. J Van der Tholen mengatakan bahwa dalam Perang Kerinci telah tewas enam orang pasukan Belanda (diantaranya 3 orang Perwira), 40 orang luka-luka berat dan ringan.

Perang yang berkobar selama 3 tahun (1901-1903) mengharuskan Depati Parbo bertahan untuk mempersiapkan strategi melawan Belanda, namun karena terdesak dan mendengar kabar bahwa banyak hulu balang yang gugur, mengharuskan Depati Parbo bergerak melawan dengan senjata seadanya. Saat perlawanan itulah Depati Parbo berhasil ditangkap Belanda, dan perlahan perang pun meredup dengan kemenangan di pihak Belanda. Sama halnya seperti Tuanku Imam Bonjol, diasingkan Belanda ke Menado pasca Perang Paderi, Depati Parbo kemudian diasingkan Belanda ke Ternate, tetapi berbeda dengan Tuanku Imam Bonjol yang wafat dalam pengasingan, Depati Parbo beruntung mendapat hukuman selama 25 tahun, dalam pengasingan Depati Parbo memperoleh pengampunan dari Ratu Belanda, dan diperboleh kembali ke Kerinci. Berbagai sumber mengatakan Depati Parbo memperoleh pengampunan berkat ilmu kebatinan yang dimilikinya, ia mampu menyembuhkan anak seorang Asisten Residen Belanda, dan atas tanda balas budi Asisten Residen kepada Depati Parbo, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Kerinci.
 
Sebagai bentuk penghargaan rakyat Kerinci terhadap perjuangan Depati Parbo dalam melawan penjajah Belanda, nama Depati Parbo disematkan sebagai nama bandar udara di Kerinci, yakni Bandar Udara Depati Parbo. Selain itu, sebuah perguruan tinggi swasta yakni Akademik Manajemen Ilmu Komunikasi (AMIK) juga menyamatkan nama Depati Parbo sebagai nama institusi tersebut. Sebagai warga negara yang hidup di alam kemerdekaan, sudah sepantasnya kita memberi penghargaan terhadap pahlawan-pahlawan bangsa, dengan kembali mempelajari perjuangan mereka, mengambil nilai-nilai positif dari perjuangannya adalah salah satu bentuk dari penghargaan terhadap pahlawan bangsa.

Previous
« Prev Post
Show comments
Hide comments